SELAMAT DATANG DI WEBSITE RUMAH QUR'AN BAABUL KHOIR

Selasa, 22 Maret 2016

Takut Neraka, Andalkan Sedekah


Oleh.Ustadz Qois Bin Samir.

Orang ketika dihadapkan dengan sesuatu yang merugikan atau membahayakan dirinya,maka ia panik dan segera mencari jalan keluar. Maka ketika ada sarana untuk melindungi dirinya dari marabahaya itu, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya walaupun itu sangat mahal harganya akan dia tebus. Demikainlah keadaan manusia nanti pada hari kiayamat kelak. Mari kita simak sabda Rasulullah SAW,:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما منكم أحد إلا سيكلمه ربه ليس بينه وبينه ترجمان فينظر أيمن منه فلا يرى إلا ما قدم من عمله فينظر أشأم منه فلا يرى إلا ما قدم وينظر بين يديه فلا يرى إلا النار تلقاء وجهه فاتقوا النار ولو بشق تمرة. (رواه البخاري)
Artinya: “Tidaklah salah seorang diantara kalian melainkan akan diajak bicara oleh Rabbnya tanpa juru penerjemah, saat ia melihat sebelah kanannya maka ia tidak melihat selain amalnya yang pernah dilakukan, saat ia melihat sebelah kiri maka ia tidak melihat selain amalnya yang pernah dilakukan sebelumnya, dan saat ia melihat didepannya maka ia tidak melihat selain neraka depan mukanya. Maka jagalah diri kalian dari neraka walau hanya dengan (bersedekah) separoh biji korma. (HR. Bukhori )

Maka kita harus bangun dan sadar bahwa setiap kita akan berhadapan langsung dan ditanya oleh  Allah tanpa ada pemandu dan penerjemah, sesungguhnya ilmu Allah sangat luas.
Dari hadist ini juga menerangkan bahwah manusia ketika hidup di dunia ini ada yang memanfaatkan hidupnya dengan beribadah dan selalu bersedekah. Inilah orang-orang yang beruntung, dimana mereka pada saat (kiyamat) melihat sisi kanannya ada tumpukan amal yang memberatkan timbangan amal kebaikannya dan berhasil dari ancaman neraka yang diperlihatkan depan mukannya.  Ada juga orang-orang yang tidak pernah ibadah dan bersedekah selama di dunia. Maka orang-orang ini termasuk orang-orang yang rugi dan hampa tanpa ada amal yang ia pandang, hanya kobaran api neraka yang ia lihat depan mukannya.

Kita berlindung kepada Allah agar dijauhkan dari siksa api neraka. Maka marilah belajar untuk bersedekah dan iringi dengan hati yang ikhlas, bukan hanya melihat  kwantitas amal tapi justru usaha yang nanti dilihat oleh Allah. Bisa jadi amal yang sedikit justru menyelamatkan kita dari siksa api neraka, walau hanya dengan separoh biji korma. Wallahu a’lam.

Senin, 14 Maret 2016

Donasi

Donasi Untuk Rumah Qur'an Baabul Khoir
BRI : 3004-01-010086-53-6
a.n. Khairuddin alfath

konfirmasi ke nomor : 085316274935

Jumat, 11 Maret 2016

Berapa Lama Waktu Untuk Menghafal Al-Qur'an.?

SALAH SEORANG PEMBACA BERTANYA KEPADA SAYA, “BERAPA LAMA WAKTU YANG ANDA HABISKAN UNTUK BISA HAFAL AL-QUR’AN?

TENTANG BERAPA LAMA waktu yang saya butuhkan untuk  bisa hafal Al-Qur’an, maka saya katakan bahwa sebenarnya saya  menghafal Al-Qur’an tidak pernah berpikir berapa lama yang saya butuhkan dan berapa surah yang telah saya hafal, tetapi saya ingin mengharap ridha  Allah. Saya juga sering mengatakan bahwa saya  hanya menginginkan pahala yang besar dari Allah dan dekat dengan-Nya.
Saya tahu bahwa terkadang orang mukmin yang hanya hafal surah Al-Ikhlas mampu mendapatkan kedudukan yang paling tinggi di  sisi Allah dikarenakan keikhlasan dan kejujuran dirinya terhadap Rabb-Nya. Inilah yang menjadikan seorang mukmin lebih mampu menghafal Al-Qur’an, karena Allah membantunya.
Mengkin kita pernah mendengar kisah seorang sahabat yang selalu membaca surah Al-Ikhlas dalam shalatnya, lalu Rasulullah  bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan kamu melakukan hal  ini?” Sahabat itupun menjawab, Aku menyukai surah ini karena di dalamnya ada sifat Allah, maka Rasulullah pun mengabarkan kepada sahabat tersebut bahwa Allah juga mencintai orang tersebut.
Adapun orang yang menghafalkan Al-Qur’an untuk berbangga-bangga atau ingin mendapatkan piagam dan ijazah agar dilihat  manusia, maka dia akan memperoleh pahala yang sedikit, meskipun hafal Al-Qur’an. Kita semua juga tahu bahwa orang itu adalah orang yang pertama kali akan merasakan panasnya api neraka pada hari kiamat nanti. Dia adalah orang yang membaca dan menghafal Al-Qur’an karena ingin disebut Qori, dia membanggakan diri dihadapan manusia tidak mengharap ridha Allah. Orang seperti ini hanya akan mendapat penghargaan di dunia, sedangkan di akhirat tidak akan mendapatkan apa-apa.
Oleh karena itu wahai saudaraku seiman, selalu saya katakan bahwa hafal sedikit yang disertai dengan keikhlasan itu lebih baik dari pada hafal banyak tanpa disertai dengan keikhlasan.


(Hafal  Al-Qur’an  Tanpa  Nyantri,  Hal:  48,  Abdul  Daim  Al-Khalil,  Pustaka  Arafah, Solo)

Mulut Menyebarkan Aroma Wangi Ketsuri


Pada zaman dahulu, di Kota Madinah hidup seorang imam besar dalam bidang qiro’ah. Beliau merupakan salah satu diantara al-qorra’ as-sab’ah (tujuh imam qiro’ah).
Namanya adalah Nafi’ al-Madani. Lengkapnya, Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdirrahman bin Abi  Nu’aim  Asy-Syij’i  Al-Madani.  Imam  Ibnu  Katsir  berkata, “Kepemimpinan dalam bidang qiro’ah di Madinah  berakhir kepada Imam Nafi’. Beliau mengajarkan qiro’ah dalam  rentang waktu yang sangat panjang.  Kulitnya  hitam  legam, tetapi wajahnya memancarkan cahaya dan akhlaknya sungguh mulia.”
Imam  Nafi’ adalah  guru Imam Malik dalam bidang qiro’ah  Al-Qur’an. Ketika Imam Malik ditanya tentang basmalah, beliau  menjawab, “Bertanyalah  tentang  setiap ilmu itu kepada ahlinya. Nafi’ adalah Imam (panutan) manusia dalam bidang qiro’ah”. Maksudnya, beliau menyarankan agar menanyakan hal itu kepada Imam Nafi’. Sa’id bin Manshur  berkata, “Aku pernah  mendengar  Imam  Malik  berkata,  “Qiro’ah Nafi adalah sunah.” Sementara itu, Imam Ahmad  bin  Hambal  pernah ditanya oleh putranya, Abdullah, “Qiro’ah  mana  yang ayah lebih  sukai” Beliau menjawab, “Qiro’ah ahli Madinah.” Maksudnya  adalah  qiro’ah Imam Nafi’. Lewat Imam Nafi’-lah di dunia Islam dikenal adanya dua riwayat bacaan dari beliau, yaitu:
1.        Riwayat Qolun, yang dibawakan oleh Imam Isa bin Mina bin Wardan, yang tersorhor dengan julukan Qolun,
2.        Riwayat Warsy, yang dibawakan oleh Imam Ustman bin Sa’id bin Abdullah al-Mihsri.

Imam  Nafi’  lahir pada tahun 70 H (690 M) dan wafat  pada  tahun 169 H (785 M). Disebut dalam sebuah riwayat bahwa beliau berasal dari Asfahan, seperti yang beliau ceritakan sendiri kepada salah seorang muridnya, Al-Asma’i. Kemudian, beliau merantau ke Madinah untuk mencari  ilmu. Beliau belajar  dan  mengambil  qiro’ah  dari sejumlah tabi’in, diantaranya Abdurrahman bin Hurmuz  Al-A’raj,  Abu Ja’far al-Qari, Syaibah bin Nashah, Yazid bin Ruman, Az-Zuhri, dan lainnya.
Imam Nafi’ pernah mengatakan kepada  salah seorang muridnya, Abu Qurrah Musa bin Thariq, “Aku menggurukan bacaan Al-Qur’an  kepada tujuh puluh (ulama) tabi’in.” Sementara para tabi’in  itu  mengambil qiro’ah dari  para sahabat, diantaranya Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Iyash bin Abi Rabi’ah al-Mahzumi dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah. Beliau  menerimanya  dari  Jibril,  sedangkan  Jibril u menerimanya dari Allah.
Diantara karamah  yang  dimiliki  oleh  Imam  Nafi’  adalah  mulut  beliau menyebarkan aroma wangi ketsuri. Imam Ibnu Jazari membawakan riwayat dari Imam Asy-Syaibani, yang menceritakan dari salah  seorang murid yang belajar  qiro’ah  kepada Imam Nafi’. Si murid menyatakan bahwa saat beliau berbicara, dari mulutnya tercium aroma ketsuri. Lalu, hal ditanyakan hal itu kepadanya, “Apakah Tuan memakai minyak wangi setiap kali duduk untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada kami?” Beliau menjawab, “Aku tidak mendekati minyak wangi  dan juga menyentuhnya. Hanya  saja, aku pernah bermimpi Nabi membacakan Al-Qur’an ke dalam mulutku. Semenjak  itu, tercium aroma ini dari mulutku.” Oleh karena itu, Imam Syatibi  menyebut Imam Nafi’ dalam kitabnya dengan sebutan “si wangi”
(Ath-Thib).
Suatu ketika dikatakan kepada Imam Nafi’, “Betapa elok wajahmu dan betapa bai akhlakmu, Tuan!” Beliau menjawab, “Bagaimana  aku  tidak demikian, sedangkan Rasulullah menjabat tanganku. Aku  juga menggurukan bacaan Al-Qur’an kepada beliau.” Maksudnya dalam mimpi. Sementara itu, Imam Qolun pernah berkata, “Imam Nafi adalah orang yang sangat bersih badannya dan paling bagus bacaan Al-Qur’annya. Beliau juga seorang yang zuhud dan  dermawan. Beliau  mengerjakan  shalat  di  Masjid Nabawi selama enam puluh tahun.” Dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau bukan sekedar shalat, melainkan selama enam puluh tahun itu, beliau menjadi imam shalat di Masjid  Nabawi.


 (Balita  pun  Hafal  Al-Qur’an.  Hal:  113.  Salafuddin  Abu Sayyid. Tinta Medina, Creative Imprint of Tiga Serangkai, Solo)

Al-Qur'an Menyebut Umur 40 Tahun

Oleh: Ust. Badrul Tamam, Lc.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam atas hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam , keluarga dan para sahabatnya.

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.
(QS. Al-Ahqaf:15)

Keistimewaan Umur 40 Tahun
         Sebagian orang menyebut, umur empat puluh tahun penuh teka-teki dan penuh misteri. Sehingga terbit sebuah buku berjudul, "Misteri Umur 40 tahun" yang diterbitkan pustaka al-tibyan – Solo, diterjemahkan dari buku berbahasa Arab, Ya Ibna al-Arba'in, oleh Ali bin Sa'id bin Da'jam.
Seseorang yang sudah mencapai umur 40 tahun berarti akalnya sudah sampai pada tingkat kematangan berfikir serta sudah mencapai kesempurnaan kedewasaan dan budi pekerti. Sehingga secara umum, tidak akan berubah kondisi seseorang yang sudah mencapai umur 40 tahun.
Al-Tsa'labi rahimahullah berkata, "Sesungguhnya Allah menyebutkan umur 40 tahun karena ini sebagai batasan bagi manusia dalam keberhasilan maupun keselamatannya."
Ibrahim al-Nakhai rahimahullah berkata, "Mereka berkata (yakni para salaf), bahwa jika seseorang sudah mencapai umur 40 tahun dan berada pada suatu perangai tertentu, maka ia tidak akan pernah berubah hingga datang kematiannya." (Lihat: al-Thabaqat al-Kubra: 6/277)  
Allah Ta'ala telah mengangkat para nabi dan Rasul-Nya, kebanyakan, pada usia 40 tahun, seperti kenabian dan kerasulan Muhammad, Nabi Musa, dan lainnya 'alaihim al-Shalatu wa al-Sallam. Meskipun ada pengecualian sebagian dari mereka.
Imam al-Syaukani rahimahullah berkata, "Para ahli tafsir berkata bahwa Allah Ta'ala tidak mengutus seorang Nabi kecuali jika telah mencapai umur 40 tahun." (Tafsir Fathul Qadir: 5/18)
Dengan demikian, usia 40 tahun memiliki kekhususan tersendiri. Pada umumnya, usia 40 tahun adalah usia yang tidak dianggap biasa, tetapi memiliki nilai lebih dan khusus.
Dihikayatkan, al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi adalah seorang laki-laki yang shalih, cerdas, sabar, murah hati, berwibawa dan terhormat. Ia berkata, "manusia yang paling sempurna akal dan pikirannya adalah apabila telah mencapai usia 40 tahun. Itu adalah usia, di mana pada usia tersebut Allah Ta'ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan pikiran manusia akan sangat jernih pada waktu sahur." (Lihat: al-Wafyat A'yan, Ibnu Khalkan: 2/245)
Disebutkan tentang biografi al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, "Bahwa ketika mencapai umur 40 tahun ia berkonsentrasi untuk beribadah dan memutuskan diri dari hubungan dengan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, dan ia berpaling dari semua urusan dunia dan umat manusia, seakan-akan ia tidak pernah kenal seorangpun dari mereka. Dan ia terus menyusun karya-karya tulisnya. . ." (Syadzratu al-Dzahab: 8/51)

Al-Qur'an Menyebut Umur 40 Tahun
          Cukuplah Al-Qur'an yang telah menyebutkan umur 40 tahun dengan tegas itu menjadi perhatian. Sehingga kita lihat, saat memasuki usia ini para ulama salaf mencapai kebaikan amal mereka dan menjadikannya sebagai hari-hari terbaik dalam hidupnya.
Allah Ta'ala berfirman,  

حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
(QS. Al-Ahqaf: 15)

Umur 40 Tahun dan Syukur
            Ayat di atas mengisyaratkan, saat sudah menginjak usia 40 tahun hendaknya seseorang mulai meningkatkan rasa syukurnya kepada Allah juga kepada orang tuanya. Ia memohon kepada-Nya, agar diberi hidayah, taufik, dibantu, dan dikuatkan agar bisa menegakkan kesyukuran ini. Karena segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini adalah dengan kehendak dan izin-Nya, sehingga ia meminta hal itu kepada-Nya. Ini sebagaimana doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu 'Anhu, "Aku wasiatkan kepadamu wahai Mu'adz, Janganlah engkau tinggalkan untuk membaca sesudah shalat:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِك ، وَشُكْرِك وَحُسْنِ عِبَادَتِك
"Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir, beryukur, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasai dengan sanad yang kuat)

            Karena sesungguhnya seorang hamba pasti sangat butuh kepada pertolongan Tuhannya  dalam menjalankan perintah, menjauhi larangan, dan sabar atas ketetapan-ketetapan takdir-Nya. (Dinukil dari Subulus Salam, Imam al-Shan'ani)
Sebenarnya bersyukur itu sepanjang umur. Dan dikhususkan pada umur 40 tahun ini karena pada saat usia ini seseorang benar-benar harus sudah mengetahui segala nikmat Allah yang ada padanya dan pada orang tuanya, lalu ia mensyukurinya.
           Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya berkata, "Allah Ta'ala menyebutkan orang yang sudah mencapai umur 40 tahun, maka sesungguhnya telah tiba baginya untuk mengetahui nikmat Allah Ta'ala yang ada padanya dan kepada kedua orang tuanya, kemudian mensyukurinya."
Sesungguhnya hakikat syukur itu mencakup tiga komponen; hati, lisan, dan anggota badan.Hati dengan mengakui bahwa semua nikmat itu berasal dari pemberian Allah.Lisan dengan menyebut-nyebut dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya serta memuji-Nya.Sementara anggota badan adalah dengan menggunakan nikmat itu untuk taat kepada-Nya, yakni untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.Oleh karenanya, disebutkan dalam ayat, 
"Dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai."

Ditekankan Bersyukur Kepada Orang Tua
               Saat seseorang berumur 40 tahun, maka ia memiliki tanggungjawab di tengah keluarga dan masyarakat yang lebih besar. Anak-anak memerlukan biaya yang lebih untuk pendidikan dan lainnya.Sementara orang tuanya, pastinya sudah renta dan sangat memerlukan bantuan dari anak-anaknya.Di sinilah sering seseorang melupakan orang tuanya karena konsentrasinya yang lebih terhadap keluarga dan anak-anaknya. Padahal seharusnya dengan bertambahnya umur semakin membuat ia sadar akan jasa-jasa orang tuanya kepada dirinya. Sehingga disebutkan dalam hadits, "Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya, salah seorang atau kedua-duanya, tapi tidak bisa masuk surga (dengan itu)." Dalam riwayat lain, "Tapi keduanya tidak bisa memasukkannya ke dalam surga." (HR. Ahmad dan lainnya) 

      Ayat tentang kewajiban berbuat ihsan kepada orang tua di atas diawali dengan perintah untuk mentahidkan Allah, ikhlash ibadah kepada-Nya, dan istiqamah di atasnya.Seolah menunjukkan, saat Allah perintahkan untuk mentauhidkan-Nya ada di antara hamba yang menyambut dan ada pula yang menentang.Sama juga dengan perintah berbakti kepada orang tua, ada manusia yang berbakti kepada orang tuanya dan ada pula yang malah durhaka.
Juga mengisyaratkan, agar tidak membedakan dan membentukan berbuat ihsan kepada orang tua dengan mentauhidk Allah. Sesungguhnya berbuat ihsan kepada kedua orang tua itu bagian dari ibadah kepada Allah. Sehingga tidak boleh dalam berbuat ihsan tersebut melanggar nilai-nilai ketauhidan. Walau besar hak orang tua atas anak, tidak boleh mentaati keduanya dalam maksiat kepada Allah. Karena tetaplah nikmat yang orang tua dapatkan itu berasal dari Allah juga.
Bentuk berbuat ihsan kepada orang tua yang diperintahkan dalam ayat tersebut mencakup segala bentuk berbuat baik seperti memenuhi nafkah orang tua, memnuhi kebutuhannya, mentaati perintahnya yang ma'ruf, menghidarkan dari bahaya, mengobatkannya jika sakit, menghiburnya jika sedih, dan memohonkan ampun dan doa untuk kedunya, serta yang lainnya.

Jangan Lupakan Keturunan
      Sesudah seorang muslim diperintah berbuat baik kepada orang yang di atasnya dan mengerjakan amal shalih untuk dirinya, janganlah ia lupa terhadap anak keturunanya. Ia juga wajib memperhatikan pendidikan dan pengarahan mereka, agar menjadi orang yang taat kepada Allah Ta'ala. Karena mereka adalah amanat yang harus diarahkan untuk taat kepada Tuhan-Nya.
Dan sesungguhnya di antara balasan baik dari amal shalih mereka adalah diperbaiki keturunan mereka. Baiknya orang tua akan berefek kepada perbaikan anak. Ini juga menjadi pelajaran, dalam melakukan pendidikan kepada anak haruslah orang tua memulai dari menshalihkan diri mereka dengan ilmu dan amal. Di samping supaya bisa menjadi teladan, baiknya anak keturunan juga menjadi balasan bagi dirinya.
        Syaikh al-Sa'di berkata dalam menafsirkan ayat di atas, "Sesungguhnya baiknya orang tua dengan ilmu dan amal termasuk sebab yang besar untuk baiknya anak-anak mereka."
Selain itu, berdoa sebagai bagian dari tawakkal kepada Allah dalam usaha tidak boleh dianggap ringan. Karena hati manusia itu berada di antara dua jari dari jemari Allah Ta'ala yang diarahkan kepada Dia kehendaki. Oleh sebab itu, kita dapatkan doa dari para Nabi dan orang-orang shalih untuk keshalihan anak-anak mereka. Silahkan baca: Doa Agar Dikaruniakan Anak Shalih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, ada seorang lelaki yang mengadikan tentang anaknya kepada Thalhah bin Musharrif Radhiyallahu 'Anhu, maka Thalhah berkata kepadanya, "Minta tolonglah dalam masalah anakmu dengan ayat,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
 (QS. Al-Ahqaf: 15)

Memperbaharui Taubat
         Usia 40 tahun haruslah menjadi titik tolak dan perbaharuan taubat penyesalan seseorang atas dosa-dosa dan kufur nikmat selama hidupnya. Karena pada usia ini benar-benar telah merasakan banyaknya nikmat dan tidak sebandingnya rasa syukur terhadapnya. Maka pengakuan dosa pasti akan mengalir dari orang yang mau merenungkan masa lampaunya, sehingga dari itu lahir penyesalan, tumbuh istighfar dan taubat kepada Allah.  
Oleh sebab itu, disebutkan dalam doa di atas,

إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. Al-Ahqaf: 15)

       Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Dan di dalamnya terdapat petunjuk bagi orang yang sudah berusia 40 tahun agar memperbaharui taubat dan inabah kepada Allah 'Azza wa Jalla serta bertekad kuat atasnya." Dia harus terus meninggakatkannya saat usianya menginjak 40 tahun sampai ajal menjemputnya. Wallahu Ta'ala A'lam.

[PurWD/voa-islam.com]

Barokallah fiikum, semoga bermanfa'at


Tuntutan Bagi Siapa Yang Membawah Al-qur’an

                               
Oleh: Ust. Qois Bin Samir.

Membawa Al-qur’an maksudnya siapa saja yang memiliki semangat untuk membaca, menghafal maupun menjaga keutuhan Al-qur’an. Saya bukan seorang penghafal al-qur’an 30 (tiga puluh) juz, namun hanya kesadaran sebagai seorang muslim yang meyakini Al-qur’an adalah panduan hidup, sehingga tanggung jawab akan al-qur’an merupakan bagian dari kewajiban seorang muslim, baik untuk membaca, menghafal maupun mengamalkan isi al-qur’an itu. Dan yang lebih penting adalah bagaimana adab kita dalam mengaplikasikan al-qur’an. Wajar seorang nabi Muhammad Saw, terkenal dengan seluruh sifatnya adalah sifat Al-qur’an, karena mulai dari tutur kata, tingkahlaku, dan pergaulan beliau merupakan cerminan dari Al-qur’an itu sendiri.
Al-Imam Muhammad Al-Ajurri Al-Baghdadi rahimahullah menjelaskan Akhlak Ahlul Quran didalam kitab beliau Akhlaq Hamalah Al-Quran, kata beliau rahimahullah : 

Pertama-tama yang harus dicamkan oleh Ahlul Quran :
1.    Hendaklah ia bertakwa kepada Allah, baik itu sendirian maupun bersama orang banyak, dengan bersikap wara' dalam makanan, minuman dan pekerjaan nya.
2.    Dia senantiasa mencermati zaman dan orang-orang yang rusak ditengah menjalaninya, lalu menjaga diri dari mereka dengan tetap memegang teguh agamanya.
3.    Dia siap menghadapi segala masalah yang menghadang-hadanginya dan bercita-cita untuk melakukan perbaikan terhadap kekurangan yang ada pada urusan nya.
4.    Dia menjaga lisan nya dan berhati-hati dalam berbicara. Jika dia harus angkat suara, dia berbicara dengan ilmu. Dan jika dia mesti diam, maka diamnya pun diatas ilmu, tentu dengan meyakini bahwa diam adalah tindakan yang benar. Dia menghindari obrolan yang tidak berguna. Dia lebih takut terhadap lisan nya ketimbang takut kepada musuhnya. Dia mengekang lisan nya seperti mengekang musuhnya, agar terhindar dari kejahatan dan akibat buruk yang ditimbulkan nya.
5.    Dia sedikit tertawa terhadap sesuatu yang biasanya menjadi bahan tertawaan manusia, karena buruknya akibat yang ditimbulkan nya (dari tertawa yang berlebihan). Jika dia merasa senang akan sesuatu yang selaras dengan hatinya, dia cukup tersenyum. Dia tidak suka bercanda, karena bisa terjerumus dalam main-main. sehingga jika dia bercanda, candanya bukanlah kedustaan.
6.    Wajahnya cerah dan ucapan nya sopan (dan santun).
7.    Tidak pernah dia memuji kelebihan yang ada pada dirinya, apalagi terhadap sesuatu yang tidak dia miliki.
8.    Dia sangat berhati-hati agar tidak terjerumus oleh hawa nafsu yang dapat mendatangkan murka Rabb nya.
9.    Tidak pernah dia menggunjing seorangpun, tidak pula hasad, bahkan tidak pernah meremehkan orang lain.
10.  Dia tidak bergembira dengan musibah -yang menimpa ornag lain- dan tidak menzalimi siapapun.
11.   Dia tidak berburuk sangka kepada siapapun kecuali kepada yang berhak.
12.  Irinya berlandaskan ilmu dan tidak berhenti mencari hakikat (kebenaran) dengan dasar ilmu.
13. Dia menjadikan al-Quran, as-Sunnah dan Fiqih sebagai petunjuk jalan nya menuju akhlak yang  baik lagi menarik.
14. Ahlul Quran juga menjaga anggota tubuh nya dari hal-hal yang dilarang. Jika berjalan, dia    berjalan dengan ilmu. Jika duduk, dia duduk dengan ilmu. Dia berusaha semaksimal mungkin        agar manusia aman dari gangguan lisan dan tangan nya.
15.  Dia tidak bodoh, tetapi jika dianggap bodoh oleh orang lain, dia tetap santun.
16. Dia tidak zalim, tetapi jika dizalimi, dia memaafkan.
17.  Dia tidak menganiaya siapapun, tetapi jika dia dianiaya orang lain, dia bersabar.
18.  Dia menahan amarahnya demi mengharapkan ridha Tuhan nya dan membuat marah musuhnya.
19. Dia bersikap tawadhu'. Jika disampaikan kebenaran kepadanya, dia menerimanya, baik dari anak  kecil maupun orangtua.
20. Dia hanya memburu kedudukan tinggi dihadapan Allah Subhanahu wa ta'ala, bukan dihadapan  makhluk.
21. Dia benci kesombongan karena takut jangan-jangan mencelakai dirinya.
22. Dia tidak mencari makan dengan al-Quran, tidak senang jika seluruh keperluan dirinya dipenuhi dari ucapah mengajar al-Quran. Dia tidak menggunakan al-Quran untuk merayu hati para penguasa, dan tidak bermajelis al-Quran bersama orang-orang kaya saja, agar mereka menghormatinya. (Tetapi dia bermajelis bersama semua orang).
23.  Dia Qanaah dengan sedikit rezeki dan merasa cukup.
24.   Dia waspada terhadap dunia yang akan melalaikan nya.
25.  Dia senantiasa mengikuti kewajiban dalam al-Quran dan Sunnah.
26. Dia mewajibkan dirinya berbakti kepada kedua orangtua. Maka, dia menunjukkan rasa hormat kepada mereka berdua, merendahkan suaranya dihadapan mereka, mempersembahkan hartanya kepada mereka, memandang keduanya dengan penuh pemuliaan dan kasih sayang, mendoakan keduanya agar tetap baik-baik saja, membalas kebaikan keduanya ketika mereka sudah tua, tidak merasa bosan terhadap mereka dan tidak menghindari mereka. Jika kedua (orangtua) nya, meminta tolong untuk melakukan suatu ketaatan, dia membantu mereka. Namun jika keduanya meminta tolong untuk melakukan suatu kemaksiatan, dia tidak membantu tetapi tetap bersikap lemah lembut terhadap mereka dalam penolakan nya tersebut. Dia menjaga adab terhadap keduanya, agar mereka mengurungkan niat melakukan hal- hal buruk yang tidak berfaedah bagi mereka.
27. Dia senantiasa menyambung tali persaudaraan dan tidak suka memutuskan nya. Jika ada yang memutuskan hubungan dengan nya, maka dia tidak berbuat hal yang sama.
28. Dan jika ada yang berbuat maksiat kepada Allah dalam bergaul dengan nya, dia tetap mentaati Allah dalam pergaulan nya.
29 Dia bergaul dengan orang-orang beriman atas landasan ilmu, dan majelis bersama mereka dengan landasan ilmu. Orang yang berteman dengan nya mendapatkan manfaat.
30. Dia bersikap sopan terhadap teman duduknya (sepergaulan nya).
31. Dia tidak menghina orang yang berbuat salah dan tidak mempermalukan nya.
32. Dia bersikap lembut (dan tetap tegas) dalam segala urusan, sabar dalam mengajarkan kebaikan,  menyayangi para pelajar, membuat majelis jadi ceria. Bermajelis dengan nya mendatangkan  kebaikan.
33. Dia memperlakukan orang yang duduk bersamanya dengan adab al-Quran dan Sunnah.
34. Keinginan nya bukanlah kapan dia mengkhatamkan satu surah. Tetapi keinginan nya adalah  kapan  dia merasa cukup dengan Allah dan tidak membutuhkan yang lain nya.
35.  Dia selalu bertanya, "Kapan saya menjadi orang yang bertakwa? Dan kapan saya menjadi orang  baik?"

Barokallah fiikum, semoga bermanfa'at

Rabu, 09 Maret 2016

Proses Belajar Di Rumah Qur'an Baabul Khoir

Inilah Bentuk Proses Belajar di Rumah Qur'an Baabul Khoir yang ala kadarnya saja,  tanpa meja belajar bahkah masih ada yang duduk langsung lantai karena kekurangan karpet/tikar. Namun itu semua tidak menjadi alasan bagi kami untuk terus berjuang pemberantasan buta huruf Al-Qur'an Khususnya di dunia Kampus

Putri/Mahasiswi







Putra/Mahasiswa





Penyerahan Bantuan Al-Qur'an



Penyerahan Bantuan Al-Qur'an dari Dewan Dakwah Solo
 untuk Rumah Qur'an Baabul Khoir Yogyakarta.

Jazakumullah atas semua dukungannya 

Pelatihan Metode Pengajaran Tsaqifa

Pelatihan Metode Pengajaran Tsaqifa Yang dilaksanakan oleh
 KPQN (Kafilah Pembelajaran Al-Qur'an Nusantara) Yogyakarta.

Pelatihan ini diikuti oleh Tiga Orang Pengajar di Rumah Qur'an Baabul Khoir sebagai upaya Peningkatan SDM agar kedepannya menjadi Rumah Qur'an yang Profesional, bisa Mencerdaskan Ummat dalam mempelajari Al-Qur'an.




Senin, 07 Maret 2016

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com